Aplikasi Salam Pada Perbankan Syariah

Selasa, 09 Februari 2010

ecara pengertian, salam merupakan salah satu jenis transaksi jual beli yang diberlakukan secara syariah. Pada proses perkembangannya aplikasi ini termasuk dalam satu wilayah pembiayaan perbankan syariah. Dalam konteks yang berlaku pada perbankan syariah, pembiayaan salam merupakan transaksi jual beli serta barang yang diperjualbelikan akan diserahkan dalam waktu yang akan datang tetapi pembayaran yang dilakukan kepada nasabah tersebut dilakukan secara tunai.

Sebagai contoh aplikasi adalah seorang nasabah yang membutuhkan dana untuk membeli sebuah mesin yang akan dipergunakan untuk berbisnis. Masa menuai hasil dari bisnis tersebut direncanakan akan berlangsung bulan depan. Tentunya, nasabah tersebut meminjam dana kepada bank kemudian meminta bank syariah untuk membeli hasil produksi kemudian melakukan penjualan kembali kepada nasabah dengan cicilan yang disepakati dalam jangka waktu tertentu. Bank syariah menerapkan persentase keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Bank bertindak sebagai pembeli maupun sebagai penjual.

Terdapat beberapa ketentuan mengenai pembayaran, antara lain : alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang atau manfaat, pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati dan pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang Beberapa ketentuan mengenai barang yang diperjual belikan, antara lain : harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang, harus dapat dijelaskan spesifikasinya, penyerahannya dilakukan kemudian, waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan, pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya dan tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

Akad Salam dapat diaplikasikan setidaknya dengan tiga model. Pertama, model akad Salam Tunggal Hakiki, dimana bank benar-benar melakukan pembelian barang dan kemudian terjun langsung dalam bisnis penjualan barang itu. Kedua, model akad Salam Tunggal Hukmi (formal), dimana bank tidak benar-benar bermaksud membeli barang, karena setelah itu bank menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan akad Bay’ Murabahah Bisaman Ajil, atau menyuruh menjualnya ke pihak lain dengan akad Wakalah. Ketiga, model akad Salam Paralel, dimana bank melakukan dua akad Salam secara simultan, yakni akad Salam dengan nasabah yang butuh barang dan akad Salam dengan nasabah yang butuh dana untuk memproduksi barang.

Sayangnya, di masyarakat banyak beredar anggapan bahwa jual-beli Salam itu tidak ada bedanya dengan jual-beli Ijon. Dalam jual beli ijon, pembeli membayar lunas harga buah-buahan di pohon yang masih belum saatnya dipanen karena belum matang (masih hijau). Ketika panen tiba, berapapun jumlah buah yang ada di pohon adalah hak milik pembeli.

Mungkin pembeli mendapatkan keuntungan besar ketika buah yang dipanen lebih banyak dari yang diperkirakan. Mungkin pula ia menderita kerugian ketika yang dipanen lebih sedikit dari yang diperkirakan. Jadi di sini terdapat unsur ketidak jelasan (gharar) dalam hal jumlah barang yang diperjual belikan. Demikian pula tidak ada kejelasan mengenai waktu penyerahannya.

Jual-beli Salam tidak sama dengan jual beli Ijon, karena dalam jual beli Salam kualitas dan kuantitas barang serta waktu penyerahannya sudah ditentukan dan disepakati sebelumnya, sehingga di dalamnya tidak ada unsur garar. Karena itu, bila panen buah-buahannya kurang, penjual harus memenuhinya dari pohon yang lain. Namun jika terdapat kelebihan, maka kelebihannya itu menjadi milik penjual.

Pada perbankan Syariah, jual beli salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat pertanian, barang-barang industri, dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memerlukan biaya untuk memproduksi barang-barang industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan ke bank syari’ah dengan skim jual-beli salam. Bank dalam hal ini berposisi sebagai pemesan (pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nasabah. Untuk itu bank membayar harganya secara kontan. Pada waktu yang ditentukan, nasabah menyerahkan barang peasanan tersebut kepada bank.

Berikutnya bank bisa menunjuk nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk menjual barang tersebut kepada pihak ketig secara tunai. Bank bisa juga menjual kembali barang itu kepada nasabah yang memproduksinya itu secara tangguh (bisaman ajil) dengan mengambil keuntungan tertentu.

Jadi setelah akad Salam tuntas dengan diserahkannya barang oleh nasabah (penjual) kepada bank (pembeli), masih ada beberapa akad lain yang mengiringinya. Kalau bank kemudian menunjuk nasabah tersebut sebagai wakil bank untuk menjual barang itu secara tunai kepada pihak ketiga, maka yang terjadi adalah akad jual beli murabahah bisama ajil.

Dengan beralihnya kepemilikan barang itu kepada nasabah, sedangkan ia belum membayar sepeserpun kepada bank, maka timbullah dayn (hutang). Selanjutnya, walaupun tidak wajib, biasanya diikuti dengan akad rahn, dimana bank menahan barang jaminan, baik berupa barang yang sudah dibeli kembali oleh nasabah itu tadi atau barang lain.

Namun, fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa bank tidak selalu mudah untuk menjual kembali barang industri yang dibelinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada nasabah. Untuk itu dilakukanlah akad Salam parallel, yaitu dua akad salam yang dilakukan secara simultan antara bank dan nasabah di satu pihak dan antara bank dan pemasok barang (supplier) di pihak lain. Menurut Dewan Pengawas Syari’ah Rajbi Investemen Corporation, Salam paralel ini diperkenankan dengan syarat pelaksanaan akad salam yang pertama.

Aplikasi yang terjadi di bank-bank Islam yang sudah mapan seperi di Sudan, Bahrain, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, transaksi dilakukan dengan system Salam Tunggal. Konsekuensinya, bank harus memiliki inventory yang dikelola secara professional agar tidak mengalami kerugian. Bank juga harus menyediakan gudang tempat penyimpanan (Warehouse) barang, baik milik sendiri maupun menyewa dari pihak lain.

Jadi bank dalam hal ini bertindak sebagai pedagang yang terjun langsung dalam persaingan bisnis komoditi. Sedangkan di negara- negara yang masih memegang paradigma bank sebagai intermediary institution di mana bank tidak malakukan transaksi perdagngan secara langsung, maka mekanisme yang memungkinkan adalah salam paralel. Artinya bank melakukan transaksi salam dengan produsen (Salam pertama) jika bank sudah memiliki nasabah sebagai calon pembeli (Salam kedua).

Bank dalam hal ini tidak perlu mengoperasikan gudang karena pengiriman barang bisa dilakukan langsung dari produsen kepada pembeli. Dalam prakteknya, bisa saja transaksi antara bank dengan calon pembeli (pemesan) terjadi lebih dahulu (Salam pertama), kemudian bank mencari produsen untuk memenuhi pesanan tersebut (Salam kedua).

Labels:

0 comments:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
bandung, west java, Indonesia
saya adalah alumni d3 keuangan perbankan di STIE Ekuitas Bandung